Sabt,31 Maret 2017


Filsafat Politik Aristoteles



            Interaksi politik dewasa ini seolah berjalan pada ingatan yang membosankan dan mengerikan. Membosankan, karena pandangan ini umunya digunakan oleh pandangan masyarakat awam yang jenuh dengan perkembangan politik, sehingga mereka acuh terhadapnya. Upaya mereka terhadap partisifasi politik paling hanya digunakan pada saat pemilihan umum. Bagi mereka yang acuh pada pergolakan politik biasanya dikerenakan politik sebagai praktek kotor dan mengelikan serta rumit. Pada sisi yang lain, politik menjadi mengerikan dengan berbagai ideologi dan pandangannya masing-masing menjerumuskan manusia pada peperangan atau bentrok antar pandangan politik berbeda. Jika dihitung kebelakang, seabad lalu pergolakan politik internasional telah membawa pada peperangan yang menghabisnkan jutaan nyawa manusia dan kerusakan mental juga materil.
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan politik demokrasi dewasa ini pula mengalami diskursus yang tak selesai-selesai. Tenyata demokrasi khususnya di Indonesia membawa pada kondisi yang para politikusnya berkesempatan membodohi rakyatnya. Sebagai wakil dari jutaan rakyat, politikus malah membingungkan masyarakat banyak dan (dengan tak ragu-ragu penulis katakan) melakukan tindak korupsi yang merugikan negara. Inilah ironi dari demokrasi Indonesia setelah sekian lama terjerumus pada totaliterianisme Orde baru. Peralihan antara totaliterianisme orde baru dan demokrasi reformasi belum menunjukan adanya itikad baik dari para politikus untuk mensejahterakan rakyat banyak.      
            Dalam tulisan ini, penulis bukan ingin menjelek-jelekan persoalan politik demokrasi di Indonesia. Tetapi, penulis ingin mengajak alam pikiran ini menelusuri makna politik semenjak awal dilahirkannya konsep manusia sebagaizoon politikon. Pandangan zoon politikonditemukan dalam pandangan filsafat politiknya Aristoteles yang memberikan banyak kontribusi pada pandangan filsafat politik setelahnya. Ambil contoh seperti al-Farabi dalam dunia islam, menulis pandangan politiknya dalam buku al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama) yang terinspirasi Aristoteles. Di sini, penulis ingin menakar hubungan antara manusia sebagai zoon politikon dan perkembangannya dalam pembentukan sebuah negara (polis) dan sebuah konstitusi sebagai regulasi politik. Di sisi lain, moralitas menjadi pandangan Aristoteles yang sangat penting dalam melihat perkembangan politik di atas. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam praktek politik. Sebagaimana perkembangan politik sekarang, nalar kritis terhadap pandangan Aristoteles di rasa masih sangat relevan jika kita kontekstualisasikan atau dilakukan suatu perbandingan dengan masa sekarang, khusunya di Indonesia.


Asal Usul Negara
            Sebagai murid dari Plato, Aristoteles berbeda dengan gurunya yang berpandangan idealistik. Aristoteles adalah antitesa dari Plato yang seluruh pandangan filsafatnya empiris-realis. Karya politik Aristoteles yang terkenal adalah Politics dan The Athenian Constitution.Dalam bukunya, Aristoteles menguraikan konsep-konsep dasar dalam ilmu politik seperti asal mula negara, negara ideal, warga negara ideal, pembagian kekuasaan politik, keadilan serta kedaulatan, penguasa yang ideal, konstitusi dan tentang stabilitas sebuah negara.
            Kemunculan negara menurut Aristoteles tidak dapat dipisahkan dari watak manusia sendiri atau ini merupakan insting sosial seseorang. Karena itu penyebutan manusia adalah zoon politikon atau makhluk berpolitik. Dengan definisi seperti ini, sebuah negara merupakan kepastian, karena merupakan sebuah sarana agar makhluk berpolitik tersebut dapat berinteraksi dan beraktualisasi.
            Negara dalam bentuknya yang paling sederhana dianalogikan seperti sebuah keluarga. Keluarga merupakan unit atau komponen negara yang paling sederhana dan yang paling paripurna adalah negara. Hubungan antar keluarga membentuk sebuah desa sebagai komponen yang menyatukan antar keluarga berdasarkan kebutuhan masing-masing. Di sini, kebutuhan menjadi landasan hubungan sebuah negara, karena kebutuhan tentunya mensyaratkan ketergantungan pada keluarga lain dan begitu seterusnya.
Dalam teks Politicsnya, Aristoteles mengatakan, “….terbuktilah bahwa negara termasuk dalam bangunan yang sesuai dengan kodrat dan bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang membentuk negara (zoon politikon), dia yang menurut kodratnya dan tidak hanya secara kebetulan hidup di luar negara adalah lebih buruk atau lebih tinggi dari manusia”.[1] 
               
Komunitas Politis, Manusia sebagai Zoon Politikon
“…Bahwa manusia adalah makhluk politis yang lebih tinggi dari segala lebah atau makhluk kawanan manapun adalah jelas. Karena alam, seperti kita tegaskan, tak pernah membuat hal yang sia-sia. Manusialah makhluk hidup satu-satunya yang memiliki bahasa. Suara menunjukan rasa sakit dan hasrat dan kerenanya juga dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Lain daripada itu, bahasa berfungsi untuk memberitahukan hal-hal yang bermanfaat dan merugikan dan juga menyatakan apa yang adil dan yang tak adil”.[2]
“…Negara menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan. Jika dia makin menjadi satu, dia dari negara akan menjadi sebuah rumah dan dari rumah akan menjadi seorang manusia. karena kita tentu boleh berkata bahwa sebuah rumah lebih tunggal daripada sebuah negara, dan seorang individu lebih tunggal daripada sebuah rumah. Juga andaikata orang dapat membuat kesatuan ini, orang kiranya tak boleh melakukan hal itu. Karena orang kiranya akan menyudahi negara. Di samping itu negara tidak hanya terdiri dari banyak manusia, melainkan pula dari orang yang berbeda-beda jenisnya. Negara tak dapat terjadi dari orang-orang yang sama sekali sama ”.[3]
Setelah memberikan beberapa kutipan dari teks Politics Aristoteles di atas, kiranya memberikan latar belakang sebuah komunitas dan tindakan politis yang diformulasikan oleh Aristoteles. Tindakan bernegara atau dalam konteks Athena pada masa Aristoteles adalah tindakan polis mengandaikan dorongan kodrati manusia yang disertai dengan bahasa sebagai komunikasi politik.
Sekedar memberikan gambaran singkat, kaum sofisme yang pada waktu itu berkembang pula di Athena, menyerukan pandangan politis relativisme, di mana masing-masing manusia sebagai ukuran. Hal ini kemudian dikritik oleh Plato dengan kebaikan dan negara yang dipimpin oleh filsuf lewat idealismenya, akan tetapi dikritik kemudian oleh Aristoteles yang menekankan bahasa kebutuhan bersama dalam polis. Seperti dalam kutipan di atas, bahasa dalam polis adalah bahasa yang menekankan keadilan dan kebutuhan bersama demi tercapainya polisyang adil.
Lebih lanjut, pluralisme yang dikatakan Aristoteles sebagai pembangun dasar polismenunjukan bahwa tidak ada sebuah negara yang hanya dilingkupi oleh manusia yang sama. Dalam bahasa lain ide Bhineka Tunggal Ikaberbeda tetapi tetap satu telah 2 milenium lalu adalah syarat dari polis. Jika kita lihat bersama kebelakang, tragedi genosida yang dilakukan Hitler sangat bertolak belakang dengan ide persatuan polis Aristoteles. Penyatuan bangsa atas ras unggul adalah sejarah kehancuran sebuah cita-cita pada keadilan. Dalam konteks yang lebih dekat, walaupun negara Indonesia berdasarkan persatuan masyarakat yang berbeda-beda suku dan wilayah, tapi kadang-kadang praktek politiknya berdasarkan kepentingan masing dan mementingkan kepedulian golongan.     
   

Bentuk-bentuk Negara dan Konstitusi
            Negara ideal menurut Aristoteles adalahpolis atau negara kota. Negara bentuk polismemiliki bayangan sebuah negara yang tidak terlalu besar dan kecil. Tentang kekuasaan negara polis, Aristoteles berpendapat bahwa karena negara merupakan tingkat tertingi maka ia memiliki kekuasaan mutlak atau absolut.[4]Tujuan negara menurut Aristoteles pada prinsipnya sama dengan tujuan manusia yaitu agar mencapai kebahagiaan. Maka negara oleh sebab itu bertugas untuk dan mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan penduduknya. Selain itu negara dalam pandangan Aristoteles harus memiliki sebuah konstitusi di mana konstitusi terkait dengan sebuah jabatan pemerintah dan ini mewakili konstitusi. Dengan kata lain jabatan yang di pegang oleh seseorang dalam sebuah pemerintahan harus berdasarkan konstitusi yang telah disepakati dalam sebuah negara dalam bentuk keutamaan.
            Konstitusi menurut Aristoteles paling tidak harus terdiri dari tiga bagian, diantaranya; bagian pembuat hukum yang menguji hal-hal yang bermanfaat untuk keentingan umum. Adapun bagian tersebut adalah instansi yang yang memberi pertimbangan tentang hal-hal publik, kedua adalah para pejabat, dan terakhir adalah peradilan.   
            Negara yang ideal dalam pandangan Aristoteles berkaitan erat dengan moralitas. Pandangan ini kemudian dapat mengklasifikasikan sebuah negara pada bentuk yang baik dan buruk. Negara yang baik adalah negara yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai penjamin warga negara dan yang buruk adalah negara yang gagal.
            Untuk menetapkan sebuah bentuk negara Aristoteles menetapkan beberapa kriteria diantaranya; pertama, berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang satu orang, beberapa orang ataukah banyak. Kedua, apa tujuan dibentuknya negara. Apakah bertujuan untuk  mensejahterakan dan demi kebaikan umum ataukah hanya untuk si penguasa saja. Berdasarkan kritera ini. negara dapat diklasifikasikan pada beberapa kategori.
            Negara monarki, apabila kekuasaan di tangan satu orang, bertujuan untuk kebaikan dan kesejahteraan semua. Maka ini bentuk pemerintahan terbaik, negara ideal. Adapun bentk penyimpangan terhadap konstitusinya adalah tirani. Di mana kekuasan di tangan satu orang dan kekuasaan demi kepentinan pribadi dan sewenang-wenang.[5]    
            Kedua, adalah bentuk aristokrasi di mana kekuasaan negara dipegang oleh beberapa orang dan bertujuan baik demi kepentingan umum. Adapun penyimpangan terhadap bentuk negara seperti ini adalah oligarki di mana kekuasan kelompok kaya menjadi dominan dan penyaluran pada masyarakat umum menjadi terhambat. Kepentingan oligarki menekankan pada kepentingan para penguasa kaya saja. Kemudian terakhir negara yang diideakan oleh Aristoteles adalah bentuk negara yang kekuasaanya terletak ditangan di tangan orang banyak/rakyat dan bertujuan demi kepentingan semua masyarakat. Bentuk negara ini adalahpoliteia dan penyimpangannya adalah demokrasi. Demokrai bagi Aristoteles bukanlah negara yang ideal karena kekuasaan dipegang oleh masyarakat miskin dan demi kepentingan mereka.
            Untuk memberikan gambaran nyata antara setiap bentuk negara dan penyimpangan konstitusinya, penulis sajikan gambaran dalam bentuk table berikut ini: 
             
Bentuk-bentuk konstitusi yang baik
Batasan
Bentuk-bentuk konstitusi yang merosot
Batasan
Monarki
Kuasa satu orang demi kesejahteran umum
Tirani
Kuasa satu orang demi keuntungan satu orang
Aristokrasi
Kuasa beberapa orang demi kesejahteraan umum
Oligarki
Kuasa beberapa orang demi keuntngan golongan kaya
Politeia
Kuasa semua orang demi kesejahteraan umu
Demokrasi
Kuasa banyak orang demi keuntungan golongan miskin
            Bagi Aristoteles revolusi merupakan sesuatu yang mungkin dalam negara polis. Di mana jika ada ketidaksamaan dan pelecehan terhadap konstitusi. Jika konstitusi sebagai sebab terjadinya ketidakadilan dan pelecehan terhadap kepentingan bersama, menurut Aristoteles revolusi adalah sesuatu yang memungkinkan runtuhnya sebuah negara. Oleh sebab itu kepatuhan terhadap konstitusi menjadi sebuah kemutlakan yang berarti bukan perbudakan, akan tetapi hal ini merupakan penyelamatan terhadap konstitusi dan kepentingan bersama.

Kesimpulan
            Berdasarkan paparan di atas, sebetulnya diskursus filsafat politik Aristoteles memiliki banyak dimensi penafsiran dan tentunya masih belum usang untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi perpolitikan sekarang. Namun, sepertinya pergolakan politik khusunya di Indonesia banyak melupakan sejarah filsafat politik demokrasi. Walaupun sebetunya Aristoteles menolak demokrasi, tetapi bentuk negara polis memang terlalu kecil untuk masa sekarang.
            Di sisi lain, sebetulnya ada yang perlu digarisbawahi dari pandangan politis masyarakat pilitik Aristoteles, yaitu tentang bahasa politis dan komunikasi sebagai sarana dalam tindakan politis. Sejauh ini, berdasarkan sejarah manusia bahasa dan komunikasi politis menjadi hal yang menarik karena merupakan kehkasan dan kebebasan individu yang dijamin oleh konstitusi. Dalam ruang lingkup yang lebih banyak dalam komunitas publik, bahasa politis menjadi bahasa yang disampaikan berdasarakan kepentingan bersama dan kemajuan peradaban masyarakat umum. Dengan logos sebagai sarana, maka menurut Aristoteles percakapan tentang negara untuk menjadikan kepentingan bersama sebagai cita-cita adalah sebuah keniscayaan.
            Sayangnya, ada banyak yang lupa dengan gagasan ini. Di setiap percakapan politik sekarang ini tidak menekankan pada kepentingan bersama dan pluralitas. Bahasa politik sekarang kadang-kadang malah menyebarkan syiar kebencian pada golongan yang berbeda. Padahal demokrasi bukan berdasarkan penyatuan tetapi persatuan. Inilah yang di sayangkan. Para politikus lupa pada esensi kebersamaan dan malah kadang-kadang menggunakan konstitusi sebagai kepentingan dan alat golongannya masing-masing. Walaupun demikian, kiranya pergolakan politik khusunya di Indonesia memang bukan persoalan bagaimana menerapkan gagasan Aristoteles saja. Tetapi, kita masih perlu pada diskursus yang lebih luas dan memerukan perjuangan yang panjang. Walaupun masih banyak persoalan di tingkat pilar-pilar demokrasi, tetapi cita-cita pluralisme dan keadilan masih menjadi hal yang bukan absurd.

Deflidzha
Daftar Pustaka

  1. Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol I Greek and Rome, Double Day, New York, 1993.
  2. Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, teks-teks kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta, Driyarkara, 2001.
  3. Jurnal Filsafat driyarkata, edisi XXVI No. 02. 1971.
  4. Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Terj. Sigit Jatmiko Dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
  5. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.



                [1] Aristoteles, Politik, hlm 1253a1-5, (dikuti dari F. Budi Hardiman, Filsafat Politik, teks-teks kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta, Driyarkara, 2001, tanpa halaman.
                [2] Ibid , 123a6-15.
                [3] Ibid, 1261a16-25
                [4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta: PT. Gramedia Pustala Utama, 2001. Hlm. 45.
         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik dan Hukum Indonesia